MANTUQ DAN MAFHUM
I.
PENDAHULUAN
Ketika
kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran, sebenarnya
dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya memberikan
arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata
banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam
mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai
sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan
pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks.
Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan
mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang
jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk
mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika
kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang
memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya tersirat
didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui
hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan memaparkan
sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari mantuq
dan mafhum.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Mantuq dan
Mafhum
B. Pembagian Mantuq
C. Pembagian Mafhum
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Mantuq dan
Mafhum
Mantuq ialah hukum yang ditunjukan oleh ucapan lafaz itu sendiri.
Jadi, mantuq ialah pengertian yang ditunjukan oleh lafaz ditempat pembicaraan
dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz tidak di tempat
pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.
Seperti firman Allah SWT dalam surat Al Isra’ ayat 23 yang berbunyi:
فَلَا تَقُل لَّهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka”.
Dalam ayat
tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq
yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan
perkataan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan
mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang)
karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan
yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum. Hal
tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
B. Pembagian Mantuq
Pada dasarnya Mantuq di bagi menjadi dua yaitu:
1.
Mantuq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara
langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama
Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam
pengertian ulama Hanafiyah. Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir,
dan mu’awwal:
a.
Nash
Merupakan suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi. Seperti firman
Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Artinya: “Maka
wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji
dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang
sempurna.”
Tujuan utama
dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.
b.
Zhahir
Merupakan suatu perkataan yang menujukkan sesuatu makna
bukan yang dimaksud dan menghendaki pada penta’wilan. Seperti gfirman Allah SWT dalam Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 27:
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya: “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Wajah dalam
ayat diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah yang
menyerupai seperti manusia.
2.
Mantuq Ghairu Sarih
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal
nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:
a.
Dalalat al-Ima’
Yaitu suatu
pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui
pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut
suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan
Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ
جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
{رواه الترمذى}
Artinya: “Dari
Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa
yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu
menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut
di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis,
juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahwa aktivitas
menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah
untuknya.
b.
Dalalat al-Isyarah
Adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh
suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian
atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Contohnya dalam
surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ
Artinya: “Dan
kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun”
c.
Dalalat al-Iqtida’
Adalah
pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi
tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan
itu. Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي
ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا
اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
Artinya: “Dari
Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu
Majah)
Hadits tersebut
secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan
dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena
bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan
secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti
hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah,
karena lupa atau karena keterpaksaan.
C. Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat
dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
1.
Mafhum muwafaqah; yaitu apabila hokum yang
difahamkan sama dengan hukum yang
ditunjukkan oleh bunyi lafaz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Fahwal Khitab,
Yaitu apabila yang difahamkan lebih utama hokumnya daripada yang
diucapkan seperti: memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya, berdasarkan
fiman Allah SWT dalam surat Al Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ
Artinya: “Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua
orang ibu bapakmu.”
Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b. Lahnul Khitab,
Yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti membakar harta anak yatim, tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat An-nisa ayat 10:
إِنَّ
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى
بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya
memakan api kedalam perut mereka”.
Jadi, membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakanya, yaitu tidak boleh
(haram).
2. Mafhum Mukhalafah
Adalah apabila
yang dipahamkan berbeda dengan
ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena
itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a.
Mafhum al-Washfi (pemahaman
dengan sifat)
Adalah petunjuk
yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Dalam mafhum
sifat terdapat tiga bagian, yaitu
mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda
Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
Artinya: “Para
binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum
mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang
digembalakan.
c. Mafhum illat
Adalah
menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena
memabukkan.
d. Mafhum
ghayah (pemahaman
dengan batas akhir)
Adalah lafal
yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal
ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam
firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا
وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
Artinya:“bila
kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya
adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
e.
Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan)
Adalah
menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Artinya: “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Mafhum
mukhalafahnya adalah selain para ibu.
f. Mafhum
syarat
Merupakan petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya
hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang
sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ
كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
Artinya: “...Dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum Mukhalafahnya yaitu, jika kamu skalian bukan wanita-wanita yang sedang hamil.
g. Mafhum
hadai
Yaitu menentukan
hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah
SWT dalam surat Al-An’am ayat 145:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: “Katakanlah, tidak saya peroleh di
dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas
orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena
ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak
atas nama Allah.
Jadi apa yang diharamkan hanya terbatas pada empat macam tersebut selainnya halal.
Rahmat syafe’i. Ilmu ushul
fiqh. Cetakan keempat. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2010.hal 220