Senin, 07 Desember 2015

Buku Adalah Jendela Ilmu

Buku merupakan ilmu yang sangat luar biasa. Dengan adanya buku, dapat menambah pengetahuan setiap individu karena ilmu tidak akan ada putusnya jika dipelajari. Kini kami menyediakan berbagai macam buku yang dapat Anda gunakan baik untuk Anak-anak, Remaja, maupun Orang Dewasa. dalam usaha ini, kami juga menyediakan berbagai buku Islami yang dapat menunjang perkembangan Anak dalam bidang Agama. Buku yang disediakan untuk Buah Hati Anda tersebut juga disertai dengan berbagai macam gambar-gambar yang tidak akan membuat Anak menjadi merasa cepat bosan.
 
Anda Tertarikkk???
Silahkan hubungi No. dibawah ini dijamin harga terjangkau dan tidak mengecewakan....

Minggu, 22 Februari 2015

Ushul Fiqh (Mantuq wa Mafhum)

MANTUQ DAN MAFHUM

I.         PENDAHULUAN
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari mantuq dan mafhum.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Mantuq dan Mafhum
B.     Pembagian Mantuq
C.     Pembagian Mafhum

III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mantuq dan Mafhum
Mantuq ialah hukum yang ditunjukan oleh ucapan lafaz itu sendiri.[1] Jadi, mantuq ialah pengertian yang ditunjukan oleh lafaz ditempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.[2] Seperti firman Allah SWT dalam surat Al Isra’ ayat 23 yang berbunyi:
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum. Hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.[3]

B.     Pembagian Mantuq
Pada dasarnya Mantuq di bagi menjadi dua yaitu:
1.      Mantuq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah. Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir, dan mu’awwal:
a.         Nash
Merupakan suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi[4]. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Artinya: “Maka wajib berpuasa 3 hari dalam  masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[5]
b.        Zhahir
Merupakan suatu perkataan yang menujukkan sesuatu makna bukan yang dimaksud dan menghendaki pada penta’wilan. Seperti gfirman Allah SWT dalam Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 27:

 وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Artinya: “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Wajah dalam ayat diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah yang menyerupai seperti manusia.
2.      Mantuq Ghairu Sarih 
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:
a.       Dalalat al-Ima’
Yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahwa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[6]
b.      Dalalat al-Isyarah
Adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
Artinya: “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”
c.       Dalalat al-Iqtida’
Adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu. Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
Artinya: “Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.[7]

C.     Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
1.      Mafhum muwafaqah; yaitu apabila hokum yang difahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafaz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi 2, yaitu:
a.       Fahwal Khitab,
Yaitu apabila yang difahamkan lebih utama hokumnya daripada yang diucapkan seperti: memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya, berdasarkan fiman Allah SWT dalam surat Al Isra’ ayat 23:

فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya: “Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b.      Lahnul Khitab,
Yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim, tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An-nisa ayat 10:

إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Jadi, membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakanya, yaitu tidak boleh (haram).[8]
2.      Mafhum Mukhalafah
Adalah apabila yang dipahamkan berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :

a.       Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat)
Adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Dalam mafhum  sifat  terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
Artinya: “Para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[9]
c.       Mafhum illat
Adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
d.      Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
Adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:

اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
Artinya:“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.[10]
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
e.       Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan)
Adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.


f.       Mafhum syarat
Merupakan petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
Artinya: “...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum Mukhalafahnya yaitu, jika kamu skalian bukan wanita-wanita yang sedang hamil.[11]
g.      Mafhum hadai
Yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 145:

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Artinya: “Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah.
Jadi apa yang diharamkan hanya terbatas pada empat macam  tersebut selainnya halal.[12]


[1] A. Hanafi. Ushul Fiqh. Jakarta: Widjaya. 1993. Hal. 77
[2] Nazar Bakry.Fiqh  dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1994. Hal. 166
[3] Ibid. hal 166
[4] Ibid. hal. 167
[5] Tim penyusun Mkd. Studi Al-qur’an. Surabaya: IAIN SA Press. 2011. Hal.332
[6] Ibid. hal. 335
[7] Ibid, hal 338-339
[8] A. Hanafi. Loc cit.hal. 78

[9] Rahmat syafe’i. Ilmu ushul fiqh. Cetakan keempat. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2010.hal 220
[10] Nazar Bakry.loc cit.Hal. 171
[11] Abdul Wahab Khalaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: CV. Rajawali. 1989. hal:250
[12] Nazar Bakry.Op cit.Hal. 172